Rabu, 09 Februari 2011

Enterobacter sakazaki pada Susu

Terkait dengan pengumuman merek susu formula berbakteri oleh Kementerian Kesehatan RI, isu ini kembali mengundang keingintahuan publik. Kabar tercemarnya sejumlah susu formula dengan bakteri E. Sakazakii tentunya meresahkan banyak orangtua.



Lalu, apa sebenarnya Enterobacter sakazakii?

Bakteri ini merupakan salah satu patogen yang pada tahun 1980 dipisahkan dari spesies Enterobacter cloacae, berdasarkan unsur genetik penyusunnya (Nazarowec-White dan Farber, 1997; Gurtler, 2005). Sebelumnya E. sakazakii dikenal dengan yellow-pigmented cloacae yang pertama kali dilaporkan oleh Pangalos (1929). E. Sakazakii dimasukkan dalam tren perkembangan patogen dunia sejak tahun 2005 dan banyak diulas oleh para peneliti dari seluruh dunia (Skovgaard, 2007). E. sakazakii menjadi perhatian karena tingkat mortalitas yang tinggi (40-80%) pada bayi yang baru lahir (0-6 bulan), terutama sekali bayi prematur atau yang memiliki imunitas lebih rendah dari rata-rata bayi-bayi lainnya (Iversen dan Forsythe, 2003).

Ekologi E. sakazakii
Sebagaimana genus Enterobacter lainnya, E. sakazakii merupakan bakteri yang berkoloni di dalam saluran pencernaan manusia dewasa (Iversen, Druggan, dan Forsythe, 2004). Spesies Enterobacter ini dapat ditemukan di produk pangan lain selain susu formula: keju, daging, sayuran, biji-bijian, kondimen dan bumbu-bumbuan (Iversen dan Forsythe, 2003; Kim et al, 2008; Fridemann, 2007).
E. sakazakii berkembangan optimal pada kisaran suhu 30-40°C. Waktu regenerasi bakteri ini terjadi setiap 40 menit jika diinkubasi pada suhu 23°C, yang tentunya akan sedikit lebih cepat pada suhu optimum pertumbuhannya.
Menurut Havelaar dan Zweitering (2004), kontaminasi satu koloni E. Sakazakii memiliki peluang hidup maksimum sebesar 6.5% untuk dapat berkembang hingga mencapai jumlah yang signifikan (1 juta sel/g produk) dalam waktu maksimal 100 jam pada suhu 18-37°C. Artinya, apabila 1 sel hidup E. sakazakii mengkontaminasi produk susu formula pada proses produksi. Hanya dalam 5 hari, produk tersebut telah menjadi sangat berbahaya bagi bayi. Angka probabilitas ini agaknya ditunjang dengan fakta hasil riset di seluruh dunia, tidak hanya yang dipublikasikan tim riset IPB, yaitu pada kisaran 20% (Iversen dan Forsythe, 2003; Kim et al, 2008).
Selain bersifat invasif, E. sakazakii juga memproduksi toksin (endotoxin) yang juga berbahaya bagi mamalia yang baru lahir dan belum memiliki sistem kekebalan yang baik (Townsend et al, 2007).

Permasalahan pada produk susu formula
Keberadaan E. sakazakii ini di produk susu formula menjadi mencuat dan menjadi medium kontaminasi yang dominan karena produk ini pada umumnya dikenal sebagai produk yang aman untuk langsung dikonsumsi bayi tanpa memerlukan pemrosesan lebih lanjut. Asumsi-asumsi inilah yang sebenarnya harus ditilik kembali (Kandhal et al, 2004).
Dalam hal proses produksi, bagaimana Enterobacter sakazakii dapat sampai pada produk susu formula yang disiapkan secara aseptik masih terus diteliti. Ada kecurigaan bahwa bakteri ini bersifat airborne (mengkontaminasi lewat udara) pada industri susu dan rumah tangga (Kandhal et al, 2004), sehingga diperlukan penanganan tambahan terhadap bakteri ini dalam mekanisme Hazard Analysis Critical Control Point (analisis titik penanganan kritis pada bahaya) di tingkat produksi susu formula.
Di tingkat pengguna rumahan, susu bayi pada umumnya disiapkan dengan proses yang minim pemanasan. Dalam hal ini, susu bayi biasanya hanya dicampur air hangat panas-panas kuku (suhu < 70°C), yang tidak cukup untuk mematikan bakteri ini. Susu bubuk disimpan dalam kaleng, ataupun plastik multi-lapisan pada suhu ruangan (20-27°C) untuk konsumsi hanya 1-4 hari, diasumsikan relatif aman karena kadar airnya yang rendah. Kenyataannya, dalam waktu relatif singkat, bakteri ini mampu menduplikasikan dirinya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Penyimpanan pada suhu dingin merupakan hal yang tidak umum pada produk susu bubuk, begitu pula penggunaan sanitizer yang tidak dimungkinkan. Padahal, pertumbuhan E. sakazakii dilaporkan dapat direduksi dengan penggunaan sanitizer pada produk buah-buahan, apalagi diikuti dengan penyimpanan pada suhu dingin (Kim, Ryu, dan Buechat, 2006). Akibatnya, Enterobakter sakazakii dalam jumlah cukup untuk menyebabkan penyakit (1 juta sel/g produk) pun dikonsumsi oleh bayi. Yang perlu diperhatikan oleh masyarakat adalah:
1. Kontaminasi Enterobacter sakazakii berbahaya bagi bayi usia 0-6 bulan dan merupakan ancaman bagi bayi pada usia 6-12 bulan, terutama bayi lahir prematur atau bayi dengan daya tahan rendah.
2. Tidak perlu cemas karena keberadaan E. sakazakii di dunia dan di Indonesia hanya berada pada kisaran rendah (20%) dari populasi produk susu formula, dapat ditemukan secara sporadis, tidak tergantung dari brand produk tersebut.
3. E. sakazaki banyak pula ditemukan pada produk lainnya seperti keju, daging, hingga sayuran.

Saran yang dapat diikuti:
1. Bila sebelumnya susu bayi cukup dicampur dengan air hangat, maka sekarang cobalah untuk merendam susu bubuk dengan air panas (85-100°C) selama 1-2 menit sebelum ditambahkan air dingin untuk mereduksi jumlah koloni hidup bakteri.
2. Tidak menggunakan produk susu bubuk yang kemasannya telah terbuka cukup lama (lebih dari 8 hari) atau dibeli dalam kemasan yang sudah tidak baik atau bocor.
3. Simpanlah susu bubuk yang telah dibuka kemasannya di dalam lemari pendingin (suhu <5°C) untuk mencegah pertumbuhan mikroba, bukan hanya E. sakazakii.
4. Cucilah bahan makanan yang biasa dimakan mentah dengan sanitiser, bukan hanya air mengalir, untuk mereduksi kontaminasi mikroba pada bahan pangan tersebut.
5. Konsultasikan dengan dokter/tenaga medis terhadap penggunaan susu formula bagi bayi berusia 0-6 bulan, terutama sekali bayi lahir prematur atau yang memiliki daya tahan lemah.
6. Waspada terhadap gejala demam dan diare yang merupakan indikasi infeksi, apapun mikroorganismenya, bukan hanya E. sakazakii.
Bagi industri:
1. Melakukan evaluasi terhadap proses produksi susu formula bayi secara menyeluruh. Hal ini dimungkinkan dengan memasukkan E. sakazakii dalam sistem monitoring, terutama HACCP yang telah ada.
Apa yang terjadi di Indonesia, sebenarnya terjadi pula secara global. Ekspose kontaminasi E. sakazakii pada produk makanan bayi dan susu formula dilakukan oleh Tim Peneliti di IPB hanya merupakan bagian kecil dari riset serupa di seluruh dunia. Semua tentunya dengan asumsi: menciptakan dunia yang lebih baik untuk kita semua di masa yang akan datang. Semoga dengan perkembangan ilmu mikrobiologi, kita akan semakin mengerti dan mampu mencegah patogen-patogen berbahaya dikonsumsi oleh umat manusia. Viva ilmu mikrobiologi.

Tidak ada komentar: